FATWA DSN TERKAIT ASURANSI SYARIAH
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia terkait praktek asuransi syariah terdapat pada Fatwa no: no: 39/DSN-MUI/X/2002 Tentang ASURANSI HAJI.
Di dalam fatwa tersebut diatur beberapa aspek terkait penerapan asuransi haji baik konsep dan operasionalnya yakni sebagai berikut:
Di dalam fatwa tersebut diatur beberapa aspek terkait penerapan asuransi haji baik konsep dan operasionalnya yakni sebagai berikut:
Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut
syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.
2.
Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan
prinsip-prinsip syariah.
3.
Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta'awuni (tolong
menolong) antar sesama jama'ah haji.
4.
Akad asuransi haji adalah akad Tabarru' (hibah) yang bertujuan untuk menolong
sesama jama'ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji
sebagai pemberi tabarru dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai
pengelola dana hibah.
Kedua : Ketentuan Khusus
1.
Menteri Agama bertindak sebagai pemegang
polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan
ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.
Jamaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru' yang merupakan
bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
3. Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi
syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
4.
Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru' sesuai dengan fatwa DSN
no. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah, dan hasil
investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru'.
5.
Asuransi syariah berhak memperoleh ujrah
(fee) atas pengelolaan dana tabarru' yang besarnya ditentukan sesuai dengan
prinsip adil dan wajar.
6. Asuransi syariah berkewajiban membayar klaim
kepada jamaah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati
pada awal perjanjian.
7. Surplus operasional adalah hak jamaah haji yang
pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis Induk
untuk kemaslahatan umat.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase
syariah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyarawah.
Keempat : Penutup
Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya. [LFD]
to be continued...
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar