FATWA
DSN TERKAIT ASURANSI SYARIAH
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia terkait praktek asuransi syariah terdapat pada Fatwa no: 21/DSN-MUI/X/2001, Tentang Pedoman Umum
Asuransi
Di dalam fatwa tersebut diatur beberapa aspek terkait penerapan asuransi syariah baik konsep dan operasionalnya yakni:
Di dalam fatwa tersebut diatur beberapa aspek terkait penerapan asuransi syariah baik konsep dan operasionalnya yakni:
Pertama :
Ketentuan Umum
1. Asuransi
syariah (ta’min, takful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2 Akad
yang sesuai dengan syariah yangdimaksud pada point (1) adalah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3.
Akad tijaroh adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil.
4. Akad
tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5 Premi
adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada
perusahaan asuransi seuai dengan kesepakatan dalam akad.
6 Klaim
adalah hak peserta Asuransi yang wajb diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua : Akad dalam
asuransi
1. Akad yang dilakukan antara eserta
dengan peserta dengan perusahaan tersiri atas akad tijarah dan/atau akad
tabarru’
2.Akad
tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad
tabarru’ adalah hibah.
3.Dalam
akad sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a.Hak & kewajiban peserta
dan perusahaan;
b.Cara
dan waktu pembayaran premi;
c.Jenis
akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga:Kedudukan para pihak dalam
akad tijarah & tabarru’
1. Dalam akad tijarah
(mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta
bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
2.Dalam
akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak
sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan
dalam akad tijarah & tabarru’
1.Jenis
akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
2 Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis asuransi dan akadnya
1. Dipandang dari segi jenis
asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2.Sedangkan akad bagi kedua jenis
asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan
atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru.
2.Untuk
menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan
rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk
asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam
penghitungannya.
3 Premi
yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal
dari jenis akad tabarru dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1. Klaim dibayarkan
berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda
dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya
merupakan
hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim
atas akad tabarru merupakan hak
peserta
dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan :
Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang
amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan :
Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat
melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip
syariah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang
amanah.
2. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar
akad tijarah
(mudharabah).
3. Perusahaan asuransi syariah
memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini
harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah. [LFD]
to be continued...